Rabu, 25 Desember 2013

Senyuman Terakhir Mama

Jegrek!! Pintu rumah kubuka dengan asal. Lelah sekali rasanya. Segera kuhempaskan badanku di sofa biru yang sudah usang. Terdengar suara mama dari dalam.
“Eh, Mirna sudah pulang. Anak sholihah koq nggak salam ya…”
“Capek ma”, jawabku sekenanya.
“Ya sudah. Kalau capek, segera mandi ya, biar badan segar. Tuh ada sisa air hangat di kompor”, kata mama padaku.
“Capek nih ma. Masak pulang sekolah disuruh angkat air di panci. Mama aja yang nyiapin ya…Iih…Lagian kenapa sih kita nggak punya pembantu. Tuh si Shofi aja punya 2 pembantu”, cerocosku tanpa ampun pada mama.
“Sayang, mama nggak pakai pembantu karena mama ingin anak-anak mama mandiri. Lagi pula kalian sudah besar. Kak Lian sudah kelas 1 SMP, kamu sendiri sudah kelas 4, dan dik Ilham mau kelas 1. Mirna siapkan sendiri ya…” jelas mama panjang lebar.
“Alaah…mama ini kayak ustadzah aja. Sedikit-sedikit mandiri. Ya sudah, kalau nggak mau nyiapin ya sudah. Aku mandi dengan air dingin saja!” bentakku pada mama sambil ngeloyor ke kamar mandi.
“Mir…Mirna…uhuk-uhuk”, terdengar suara mama. Mungkin lagi flu, pikirku.
Menjelang malam, seperti biasa aku nonton sinetron kesayanganku. Setiap hari aku pelototin televisi untuk lihat aksi drama artis kesukaanku.
“Mir, Mirna”, terdengar suara mama membuyarkan konsentrasiku.
“Hah, apa ma?”, jawabku tanpa menoleh sedikitpun ke arah mama.
“Formatifmu dapat seratus ya. Wah hebat nih. Alhamdulillah”, kata mama.
Seperti biasa, tiap malam mama selalu memeriksa isi tasku. Mengambil LKS dan formatif lalu merapikannya di clear holder. Tak lupa mama membuka buku penghubung. Barangkali ada pengumuman dari ustadzah, begitu kata mama.
“Iya ma. Gampang banget soalnya. Eh ma, yang dapat seratus cuma aku lho…Hebat kan?”, kataku.
“Subhanallah…Mirna pinter ya. Tinggal sholatnya nih yang harus dibenahi. Sholat Shubuh masih sering bolong. Sholat Isya’ juga sering ketiduran”, nasehat mama kepadaku.
“Iya iya!”, jawabku singkat tanpa ekspresi. Memang sih, sholatku masih belum lengkap. Kadang Shubuh terlewat atau Isya’. Tapi yang namanya mama, nggak bosan-bosannya ngingetin aku.
“Mir, ini ada tugas murojaah dari ustadzah. Surat An Naba sampai At Takwir. Yuk segera. Boleh sama mama atau papa”, kata mama.
“Nanti saja ma. Nanggung nih, sinetronnya lagi seru-serunya. Sudah ah ma, jangan ngajak ngomong terus. Nggak konsen nih!”, tukasku pada mama.
Astaghfirullah…uhuk…uhuk…uhuk”, terdengar suara lirih mama menjauh dariku. Batuk mama semakin sering. Nggak tahu kenapa.
Malam semakin gelap, dua sinetron sudah habis ku tonton. Mataku pun terasa berat sekali. Aku ingat, aku harus murojaah malam ini. Kalau nggak, bisa-bisa ustadzah Syahidah batal memberiku bintang. Kuambil juz amma kesayanganku, dibelikan papa ketika aku naik kelas 2.
“Audzubillahi minasy syaithonirrojiim…Bismillahirrohmaanirrohiim…’Amma yatasaa aluun…Anin…anin…whuah…”, aku menguap lebar ketika mencapai ayat kedua.
“Anin nabail ‘adziim…Alladzii…whuah…”, aku mengantuk sejadi-jadinya. Mataku berat berair. Kurebahkan tubuhku di karpet. Lama-lama mata ini semakin berat untuk dibuka. Dan akhirnya…
Zzzzz…zzzzz…Akupun tertidur.
Kricik…kricik…Aku terbangun mendengar suara gemericik air. Kulihat jam. Hah jam 2 malam! Biasanya jam segini mama, papa dan kak Lian bangun sholat tahajjud. Kadang mereka berjamaah, kadang sendiri-sendiri. Berulang kali mama mengajakku, tapi selalu kutolak dengan alasan klise, Ngantuk!
“Mir, kami sudah bangun? Yuk sholat Isya’ sekalian tahajjud sama mama”, terdengar suara mama memasuki kamarku dan mengajakku sholat.
“Sebentar lagi ma”, seperti biasa, aku menjawab sekenanya. Badanku terasa pegal-pegal, karena hampir semalaman tertidur di lantai karpet. Aku istirahat sebentar. Jam 3 saja aku sholat. Segera kurebahkan badanku di kasur. Aku masih mengantuk. Dan akhirnya aku…Tidur lagi!
Kriing…Kriing…
“Hah, jam 6! Aku ketiduran lagi!”, kontan saja aku menuju kamar mandi sambil ngomel pada mama.
“Huh! Mama kenapa nggak bangunin aku! Telat nih!”
“Mir, coba tanya kak Lian, berapa kali  mama membangunkan kamu. Dan berapa kali pula kak Lian melakukan hal serupa.” tegas mama.
“Iya tuh Mirna. Nggak malah bangun, tapi mbentak-bentak”, tukas kak Lian.
Aku tak menggubris perkataan mereka. Aku harus segera bersiap-siap ke sekolah.
Hari berganti hari. Aktivitasku tak berbeda jauh setiap harinya. Sekolah, nonton sinetron, chatting, mendengarkan lagu-lagu (yang kata mama jahiliyah), ketiduran, bangun kesiangan, dan seterusnya. Pelajaran di sekolah nggak ada masalah bagiku. Formatifku kalau nggak 100 ya 90. Tentang sholat? Jangan tanya, masih 4 waktu. Dan lagi-lagi mama nggak pernah absen mengingatkanku.
Di suatu siang, ketika aku sedang beristirahat di taman sekolah, tiba-tiba terdengar suara ustadzah Nina dari pusat informasi sekolah.
“Panggilan kepada Mirna Ash Sholihah kelas 4 Utsman, ditunggu papa di kantor”, begitu isi suaranya. Hah! Papa? Di kantor? Kenapa kesini? Segera saja aku berlari ke arah kantor. Kulihat dari jauh, wajah papa sedang cemas menungguku.
“Pa, papa kenapa kesini?” tanyaku tanpa ba-bi-bu pada papa.
“Mir, mama sakit. Dia dirawat di rumah sakit. Mama muntah darah tadi dan sekarang kondisinya kritis. Ayo, Mirna ikut papa sekarang. Tadi papa sudah minta izin ke ustadz Mufrih”, kata papa dengan mata berkaca-kaca. Secepat kilat, aku berlari menuju kelasku di lantai 3, mengambil tas. Ribuan pertanyaan bergelayut di benakku. Mama sakit? Sakit apa? Muntah darah? Kenapa begitu? Selama ini mama terlihat sehat. Terlihat sehat? Jangan-jangan aku saja yang tidak tahu. Tiba-tiba…Brukk! Aku menabrak kakak kelas dan terjatuh. Sekuat tenaga aku membangunkan diriku karena terbayang wajah mama. Mama…aku datang.
Aku dan papa segera ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit Asy Sifa, kami bergegas ke ruang ICU, ruangan mama dirawat secara intensif. Terlihat kak Lian terisak-isak. Tak berapa lama, seorang laki-laki berjas putih keluar dari ruang ICU. Mungkin dia dokternya mama. Papa segera berbicara, menanyakan keadaan mama kepada dokter. Aku pun penasaran. Segera ke mendekat kepada mereka.
“Dokter Yusuf, bagaimana keadaan istri saya?” tanya papa.
“Begini pak, kondisi paru-paru ibu sudah sangat parah. Selama ini ibu tidak pernah memeriksakan diri, sehingga agak sulit untuk dipulihkan. Radang paru-paru ibu sudah akut. Di paru-paru ibu sudah tergenang banyak darah. Kemungkinan hari-hari kemarin ibu pernah muntah darah. Cuma tidak sebanyak hari ini.” Jelas dokter Yusuf.
“Iya dok. Mamanya memang jarang mengeluh tentang kesehatan. Satu bulan ini batuknya semakin menjadi-jadi. Tapi beliau hanya bilang, paling batuk alergi. Biarkan saja. Begitu dok. Saya jadi merasa bersalah. Tapi dok, bagaimana kemungkinan untuk sembuh?”
“Kecil sekali pak. Kondisi ibu diperparah dengan tekanan darahnya yang tidak stabil. Kita berdo’a saja, mudah-mudahan ibu bisa melewati malam kritis.”
Glek! Penjelasan dokter membuat kepalaku pening. Mama kritis? Tiba-tiba saja, seorang suster keluar dari kamar ICU.
“Dokter Yusuf, kondisi ibu Fathonah gawat. Ia terus mengigau, memanggil anak-anaknya”, kata suster tersebut.
“Sebentar ya pak”, kata dokter pada papa. Tak lama kemudian, dokter Yusuf keluar lagi. Kali ini dengan wajah memucat.
“Pak, sepertinya ibu tidak bisa bertahan lebih lama. Ibu ingin segera bertemu dengan keluarganya. Mohon bersabar pak”, kali ini kata-kata dokter Yusuf bagaikan petir. Mama tidak bertahan lama? Maksudnya?
Kami segera memasuki kamar mama. Terlihat wajah mama pucat sekali. Badan mama juga terlihat sangat kurus. Aroma amis darah muntahan mama masih terasa walau sudah dibersihkan. Mama melihat kami dengan wajah yang tak lepas dari senyum. Mama berusaha sekali tersenyum walau badannya sakit. Aku segera memegang tangan kiri mama. Kak lian berada di sampingku, tak lepas dari tangisnya. Tak lama, mama mulai berbicara lirih sekali, sehingga kami harus mendekatkan diri.
“Mirna, Lian, sepertinya mama tidak bisa menemani kalian lagi. Mama sayang kalian. Tapi Allah lebih sayang kepada mama. Mir…” suara mama terputus, berusaha untuk tenang. Tangisku pecah dalam pelukan mama. Selama beberapa tahun ini, baru kali ini aku menangis.
“Mir, Lian…pesan mama hanya satu. Jagalah selalu sholat kalian. Jangan ditinggal dalam keadaan apapun.” Nasehat mama bagaikan mata air yang sejuk di hatiku.
“Ma…maafkan Mirna dan kak Lian. Mama…” kataku sambil terus menangis.
“Iya…Pa, maafkan mama. Titip anak-anak pa…” kata mama lagi. Lama-lama, nafas mama semakin sulit. Papa segera membimbing mama untuk mengucap kalimat syahadat. Aku dan kak Lian tak kuasa menangis. Lalu ku dengar suara mama tertahan.
“Asy…Asyhaduallah…i…ilaaha…ilallaah…wa…asy…hadu…an…anna…muhammad…ro…rosululloh…” suara mama tuntas melafadzkan syahadat. Kulihat mama menutup mata perlahan-lahan. Mama seperti orang tidur, namun kali ini tidur yang amat panjang. Senyuman mama masih menghias di wajahnya. Senyuman yang selalu tulus untuk anak-anaknya. Senyuman yang selalu kubalas dengan sikap cuek dan dingin.
“Innalillahi…” aku tak kuasa melanjutkan kalimat ini. Mamaku telah dipanggil Allah. Menghadap kepada Allah, Tuhan yang selalu dicintainya.
Aku tenggelam dalam tangis dan rasa penyesalan yang teramat dalam. Selama mama hidup, aku jarang bersikap baik dan santun padanya. Aku juga enggan menuruti kata-kata dan nasehatnya. Padahal itu semua baik untukku. Tapi, mama tidak pernah berhenti tersenyum dan menasehatiku. Ah mama, engkau begitu baik. Aku menyesal, tidak bisa membalas semua kebaikanmu. Aku menyesal, kenapa aku dulu enggan menjadi anak sholih. Aku menyesal, kenapa aku tidak memperhatikan kesehatan mama. Aku menyesal…Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Kepalaku pening sekali. Dan mataku semakin gelap. Tubuhku melemas, dan…aku limbung. Terjatuh ke lantai.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar