Rabu, 05 Maret 2014

Pelangi di Ujung Senja ღ

“ Masih tersimpan hingga kini luka yang kau gores di hatiku, dan sungguh aku tak dapat memaksa hatiku untuk membencimu, meski kau sudah membuatku hancur....bukankah lebih baik memaafkan daripada menyimpan dendam?”
Sekar ayu mutiara, atau lebih akrab disapa Thiar adalah nama yang diberikan oleh bapak dan ibu angkatku. Ya, aku hanya seorang anak angkat. Sejak bayi aku sudah dititipkan di panti asuhan oleh orang tuaku, dan hingga saat ini aku tak pernah tahu siapa orang yang sudah melahirkanku, yang dengan tega meninggalkanku di panti asuhan begitu saja. Sudahlah, hidup memang tak selalu indah. Selalu ku terima kenyataan ini. Ternyata Tuhan masih sangat menyayangiku. Baru dua hari aku di panti asuhan, sudah ada sepasang suami istri yang mengadopsiku. Keluarga yang membesarkanku hingga aku beranjak dewasa. Bapak Saptha dan Ibu Astri yang mencurahkan kasih sayangnya untukku sejak bayi hingga saat ini, aku baru saja lulus Sekolah Menengah Atas. Kehidupan keluarga kami sangat sederhana, aku sangat bersyukur bapak dan ibu berusaha keras membiayai sekolahku hingga aku tamat SMA. Kami hidup di desa kecil yang jauh dari keramaian kota. Bapak ku bekerja sebagai tukang becak dan ibuku tiap pagi berjualan nasi pecel di pasar.
“ Thiar, bantu ibu nak....”,teriak ibu dari dapur. “ ya bu...ada apa?”,jawabku sambil berjalan menghampiri ibu di dapur. “ tolong bantu menata barang dagangan ibu di becak bapak, sudah siang kita harus cepat ke pasar”, ucap ibu. Semenjak aku lulus SMA, kegiatanku sehari-hari hanya membantu ibu berjualan di pasar hingga siang hari. Sebenarnya aku ingin bekerja tapi ibu memintaku agar aku membantu beliau berjualan di pasar saja. “ bu, nasi pecelnya di bungkus 2 ya...”, ucap Carakka. Carakka atau yang akrab disapa Rakka adalah teman sekolahku dulu. Dan sebenarnya aku sudah lama memendam rasa cinta padanya. Ah....sudahlah, mimpiku takkan pernah jadi kenyataan. Mana mungkin Rakka yang anak semata wayang kepala desa di desaku mau berpacaran denganku. “ ini nak Rakka..”, ucap ibu sambil menyodorkan tas plastik berisi dua bungkus nasi pecel. “ terimakasih bu...”, ucap Rakka sambil memberikan selembar uang lima ribu rupiah kepada ibu sambil sedikit melirikku. Aku hanya tertunduk malu karena aku memang seorang gadis desa yang lugu.
“ nak Thiar, bisa bantu jaga toko kain ibu di pasar?”, tanya bu Halimah saat membeli nasi pecel dagangan ibu. Bu Halimah atau yang lebih akrab di sapa bu Imah ini adalah istri kepala desa, ibu Rakka tepatnya, yang juga mempunyai toko kain yang lumayan besar di pasar. “ gimana ya bu......”, jawabku. “ kalau kamu memang mau, ya kerja saja di toko bu Imah”, tutur ibu sambil tersenyum. “ ya deh bu saya mau bekerja di toko kain milik ibu”, ucapku sambil menatap bu Imah. “ kalau begitu kamu bisa mulai bekerja sekarang nak....”, jawab bu Imah. “ sudah, cepat bekerja sana...”, ucap ibu. Aku mencium tangan ibu kemudian berjalan mengikuti bu Imah. Ternyata toko kain bu Imah lumayan banyak pembelinya. Hanya aku dan Rakka yang melayani para pembeli, sedangkan bu Imah hanya sebagai kasir. “ Thiar...kok nglamun?”, ucap Rakka mengagetkanku. “ eh..gak kok Ka..”, jawabku gugup. “ hayo..nglamunin pacarnya ya?”, tambah bu Imah yang membuatku semakin bingung. “ gak bu...Thiar gak punya pacar kok!”, jawabku dengan sedikit gemetar. “ kalau jadi menantu ibu gimana? Mau?”, ucap bu Imah sambil tersenyum ke arahku. Wajahku merah padam dan hanya tertunduk diam. “ bu nanti tokonya tutup jam berapa ya?”, sahutku mencoba mengalihkan pembicaraan. “ kamu ini pinter banget mengalihkan pembicaraan”, jawab bu Imah sambil tersenyum geli memandang wajahku yang masih tersipu malu.


Sudah dua bulan aku bekerja di toko bu Imah. Dan sudah dua bulan pula aku berpacaran dengan Rakka. Pagi ini, seperti biasa aku bersiap-siap pergi ke pasar untuk menjaga toko kain bu Imah. Ibu juga masih sibuk di dapur, bapak mengelap becak tuanya agar bersih dan enak di pandang sehingga para penumpang tidak risih bila mau naik becak bapak. “ pagi pak Saptha, bu Astri dan Thiarnya ada?”, ucap pak Kusuma kepala desaku. Aku begitu yakin itu suara pak Kusuma, meski aku masih sibuk menggosok gigi di kamar mandi kecil yang terletak di belakang rumahku, “ ada apa pagi-pagi begini pak Kusuma ke rumahku?”, tanyaku dalam hati. Setelah berpakaian rapi aku segera berjalan tergesa-gesa menuju ruang tamu, aku begitu terkejut melihat bapak, ibu, pak Kusuma, bu Imah dan Rakka sudah duduk di kursi ruang tamu. “ duduk nak”, ucap bapak. “ begini pak Saptha dan bu Astri... kedatangan kami kemari dengan tujuan melamar nak Thiar untuk di jadikan istri Rakka”, tutur pak Kusuma. Dan semua ucapan itu membuat jantungku berdetak lebih cepat. “ kalau saya sebagai ayah terserah anak saya saja pak, bagaimana baiknya, saya akan merestui... bagaimana Thiar?”, ucap bapak sangat bijaksana. Aku hanya menunduk dan menganggukkan kepala. “ ya atau tidak Thiar?”, tanya Rakka mencoba mencari kepastian. “ ya “, jawabku pelan. “ kalau memang ya, ini cincin pertunangan kalian”, ucap pak Kusuma sambil menyodorkan benda berwarna merah kecil,berbentuk hati. Rakka membuka benda berbentuk hati itu, lalu memintaku memakaikan cincin itu di jari manis tangan kirinya, begitupun Rakka memakaikan cincin di jari manis tangan kiriku. Benar-benar mimpi yang tak pernah aku impikan. “ bagaimana kalau tanggal pernikahannya kita tentukan sekalian pak?”, tanya pak Kusuma kepada bapak. “ terserah pak Kusuma saja”, jawab bapak. “ sekarang bulan desember tanggal 27, bagaimana kalau sebulan lagi saja pak?”, ucap pak kusuma. “ ya, boleh saja”, jawab bapak. Dan artinya aku akan dipersunting Rakka sebulan lagi tanggal 27 Januari tepatnya. Aku tak percaya semua secepat ini. Baru satu tahun aku lulus SMA, dan sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu rumah tangga.
Aku masih tetap bekerja di toko kain calon mertuaku, bu Imah. Rasanya hari berlalu begitu cepat. Hari ini tanggal 31 Desember dan berarti nanti malam orang-orang kota akan beramai-ramai merayakan tahun baru. Berbeda dengan di desaku yang hanya sepi-sepi saja setiap malam tahun baru. “ mbak...benar ini toko bu Halimah?”, tanya seorang pemuda yang bisa di bilang ganteng dan berpenampilan rapi, sepertinya pemuda ini datang dari kota. “ ya, benar mas”, jawabku pelan sambil menunduk, pemuda itu terus menatapku dan membuatku tersipu malu. “ eh....nak Bayu kapan datang?”, ucap bu Imah sambil mengusap rambut pemuda itu. “ baru saja tante”, jawab pemuda itu. Ternyata pemuda itu bernama Bayu, keponakan bu Imah yang datang dari kota. “ Thiar, tolong antar mas Bayu ke rumah”, ucap bu Imah. Kebetulan hari ini Rakka sedang sakit, hanya aku dan bu Imah yang menjaga toko kain. Rumah bu Imah lumayan jauh dari toko, sekitar 1 kilometer. Tapi aku sudah biasa berjalan kaki menyusuri pematang sawah. Akhirnya aku mengajak Bayu berjalan menyusuri jalan yang biasa ku lalui. “ Thiar, sudah lama kamu bekerja di toko tante Imah?”, tanya Bayu. “ sudah mas”, jawabku singkat. Bayu mengeluh capek di tengah perjalanan. Dan akhirnya mengajakku berteduh di sebuah gubuk di tengah sawah milik pak Kusuma. Bayu menawariku sebotol kecil air, aku sudah menolaknya namun dia masih terus memaksa. Akhirnya ku teguk air itu hingga hampir setengah botol. Rasanya aneh dan membuat kepalaku pusing. Kemudian aku tak tahu lagi apa yang Bayu lakukan. Saat sadar aku sudah berada di kamarku masih dengan baju yang compang-camping tak karuan. “ Ya, Tuhan apa yang terjadi padaku? “, tanyaku dalam hati. Wajah Rakka yang samar-samar ku lihat terdapat luka dan lebam bekas pukulan. “ ibu, apa yang terjadi?”, tanyaku lirih. “ tenang Thiar, aku akan tetap menikahi kamu”, sahut Rakka dengan suara serak. Sedangkan ibu hanya berdiri mematung di samping tempat tidurku. Sekarang aku mulai bisa mengingat dan mencerna kejadian apa yang sudah ku alami. Begitu tega Bayu merenggut kehormatanku yang 3 minggu lagi akan menikah dengan sepupunya. Aku hanya bisa menangis dan mengurung diri di kamar. Apalagi seluruh penduduk desa sudah mengetahui hal ini. Aku malu, aku sangat malu. Belum lagi ulah Bayu yang memutar balikkan fakta di depan bu Imah. Semua mencemoohku “ perempuan kotor “, hanya Rakka yang terus menguatkanku. “ sabar nak....”, ucap ibu sambil terisak. Tapi aku sungguh tak rela, sungguh tak ikhlas Bayu merampas kehormatanku. Aku tak sanggup lagi menghadapi kenyataan ini. Bu Imah yang sudah begitu menganggapku sampah karena fakta yang diputar balikkan Bayu. “ Ya, Allah......aku tak sanggup lagi”, teriakku dalam hati. Aku sudah tak bisa berpikir lagi dengan kondisiku sekarang ini. Bukan hanya memikirkan pernikahan atau nama baikku yang hancur. Tapi juga nasib bayi yang ada di rahimku kini. Mengapa ini semua harus ku jalani, begitu berat tuhan cobaan yang kau berikan padaku. Lebih baik aku mati daripada harus seperti ini.
Aku terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Di sampingku terlihat wajah ibu yang kusut dan terus menangis juga wajah Rakka yang cemas memandang mataku yang sayu. Aku sadar, ada bagian tubuhku yang hilang. Kaki kiriku, kaki kiriku terpaksa di amputasi karena sudah benar-benar hancur terlindas kereta api yang saat itu melaju kencang. Aku mencoba bunuh diri karena sudah tak sanggup memikul beban hidupku yang terlalu berat. Tiada arti lagi aku hidup. Dengan pernikahan yang gagal, dengan bayi yang tidak aku inginkan yang berada di rahimku kini, dan dengan kaki kiri yang hanya sebatas lutut. Kini aku benar-benar hanya sampah. Namun Tuhan berkehendak lain, dan tidak mengijinkanku mati konyol terlindas kereta api. Rakka terus memotivasiku agar aku tetap bersemangat menjalani hidup. Dan dengan segala bukti ia mencoba meyakinkan kedua orang tuanya bahwa Bayu yang membuatku seperti sekarang, bukan kemauanku tapi Bayu. Akhirnya kedua orang tua Rakka setuju bila Rakka mempersuntingku.
Sebuah acara sederhana dilaksanakan di rumahku. Kini aku telah menjadi ibu dari bayi yang sebenarnya tak aku inginkan kehadirannya, seorang bayi laki-laki yang mungil dan ganteng yang ku beri nama Akbarra haska bayu saputra, wajahnya sama persis dengan ayahnya hanya matanya saja yang sama denganku. Aku tak akan pernah memberi tahunya bahwa Bayu adalah nama ayah kandungnya. Karena Rakka dengan besar hati mau mempersuntingku menjadi istrinya meski aku tak sempurna lagi. Dan dengan ketulusan hatinya dia rela menganggap Haska sebagai anak kandungnya dengan menulis namanya sebagai ayah kandung di akta kelahiran Haska. Begitupun pak Kusuma dan bu Imah yang menerima dan menganggap Haska sebagai cucu kandungnya. Dan kehidupanku yang kembali normal dan dapat berinteraksi dengan penduduk desa. “ Ya, Allah... sesungguhnya aku tak pernah tahu semua rencana-rencanamu, dan aku tahu ini takdirku, maafkan aku yang sempat meragukan keagunganmu, karena ku tahu hidupku tak harus terus berwarna merah, terkadang kuning, hijau, biru bahkan ungu. Sekalipun hitam kelam pernah mewarnai hidupku kini ku bersyukur dapat menikmati indahnya warna hidup. Bersanding dengan Rakka di ujung senja nan indah saat langit berwarna jingga dan matahari mulai terbenam, menimang Haska dan bercanda mesra bersama Rakka. Terimakasih Tuhan untuk pelangi yang kau hadirkan di hidupku... Pelangi di ujung senja, kini aku baru mengerti dan menyadarinya. Terimakasih Rakka dengan besar hati kau mau menerima keadaanku, perempuan cacat yang kehilangan satu kaki dan status sosialku yang jauh berbeda denganmu. Biarkan cinta kita abadi hingga nanti setelah kematian. Ya, Allah begitu adil dan bijaksananya engkau. Hingga engkau membuat Bayu depresi dan mengalami gangguan jiwa sehingga menjadi pasien rumah sakit jiwa karena begitu banyak tuntutan yang di ajukan padanya atas tindak asusila yang juga banyak dilakukannya pada teman-teman kuliahnya. Beribu terimakasih ku ucap atas semua anugerahmu Ya Allah”, ucapku dalam hati.

“ kini aku dapat tersenyum dan merangkai mimpi kembali dengan bayangmu yang slalu menemani...aku tak tega membuang bayangmu, karena kini aku begitu menyayanginya...bukan seperti caramu yang menyayangiku hanya untuk menghancurkanku...aku berjanji tak akan mengijinkan sedikitpun sifatmu dimiliki juga oleh bayangmu...hanya aku saja dan aku tak mau ada perempuan yang bernasib sama sepertiku”


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar