Kamis, 06 Maret 2014

Rasa Itu Ada ☺

Aku adalah wanita yang terlahir dengan nama Dini. Aku, Ardi dan Nadya dipertemukan dalam acara MOS SMP kami waktu itu. Tak ada hari yang kami lalui sedikitpun tanpa kebersamaan. Hari-hari sebagai remaja yang mulai tumbuh rasa dalam hati. Rasa yang mungkin suatu saat berbuah indah atau sebaliknya.
Kami telah bersahabat lebih dari 3 tahun. Berbagai liku kehidupan telah kami lalui bersama. Dan aku sadar, aku menyimpan harapan besar pada Ardi. Tentu saja aku tak ingin Ardi dan Nadya tahu tentang ini. Cukup aku saja yang tau.
Malam ini, kami bertiga berdiskusi bersama-sama tentang masa depan kami bertiga nanti. Rencana masa depan untuk melanjutkan study ke kempus ternama di negeri ini. Saat berbicara dengan Ardi, Nadya tampak begitu bersemangat. Apa mungkin? Ah, tidak. Nadya tidak mungkin juga punya rasa untuk Ardi. Diskusi pun berakhir dengan keputusan, aku harus berpisah dengan mereka berdua untuk melanjutkan study ke luar kota agak bisa lebih dekat dengan nenekku. Aku tidak tau saat itu Ardi menatapku dengan sejuta selaksa yang aku tidak bisa menjawabnya.
Hari-hari terakhir adalah hari yang paling menyiksa bagiku. Aku perlahan menyadari bahwa Nadya menyimpan rasa juga untuk Ardi, meski ia tidak mengatakan padaku. Aku paham dari sikapnya pada Ardi lebih dari sekedar sahabat. Aku bahkan tau bahwa Nadya tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ia bersama Ardi. Aku mendesah lirih. Mungkin memang aku yang harus mengalah. Mungkin juga dengan kepergianku ini aku bisa melupakan rasa ini. Rasa yang kata teman-teman “rohis” adalah rasa yang tak seharusnya.
Bandara masih sepi siang itu. Aku menyandarkan badanku. Ada yang terasa hilang saat aku akan pergi meninggalkan orang-orang yang aku cintai di kota ini. Bagaimana jika nanti tak ada lagi Nadya yang mengajakku ngemil saat istirahat. Tak ada lagi guyonan Ardi saat aku bersedih. Hm, semuanya akan berubah mulai hari ini. Aku tak menyadari bahwa Nadya dan Ardi telah duduk disampingku. Mereka tesenyum sedih menatapku. “Maafin aku ya kalau ada salah.” Nadya memelukku erat.. kami menangis. Entahlah, berat sekali meninggalkan kenangan yang ada. “Akun juga minta maaf, ya.” “Ardi sudah bicara, maaf sebelumnya, aku tidak sengaja membaca buku harianmu saat beres-beres kemarin. Ardi membacanya, dan aku juga sudah tau sebelumnya. Aku pun jujur padanya bahwa aku juga menyukainya. Tapi dia lebih memilihmu, lalu bagaimana dengan mu ??.”
Aku menghela nafas. Ah. Akhirnya rahasia itu terbongkar juga aku melihat mendung di wajah Nadya , dan aku melihat harapan di mata Ardi. Aku tidak boleh salah ambil keputusan. “Maaf, kalau aku membuat kalian serba salah. Tapi aku sudah membuat keputusan. Aku tidak akan pernah mau mengorbankan persahabatan kita hanya karena aku menyukai Ardi. Lebih dari itu, aku harus bisa lebih dulu mencintai yang maha cinta sebelum mencintai mahkluknya yang dianugerahi rasa cinta.” Ucapku sambil tersenyum.
Aku tau, ada bias kecewa di mata Ardi, tapi aku lega melihat senyum di wajah Nadya. Aku dan Nadya berpelukan menangis haru. Aku kemudian mengucap salam perpisahan. Perlahan nemun pasti aku melangkahkan kaki menuju pesawat yang sebentar lagi lepas landas. Kulambaikan tangan pada mereka. Nadya tersenyum, Ardi tersenyum. Aku memang tidak ingin menyakiti hati Nadya hanya untuk menerima Ardi. Dan akau juga tidak mau persahabatanku dengan Ardi retak karena ini. Dan kurasa, ini adalah keputusan terbaik yang telah ku lakukan.
  

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar