Aku
adalah wanita yang terlahir dengan nama Dini. Aku, Ardi dan Nadya dipertemukan
dalam acara MOS SMP kami waktu itu. Tak ada hari yang kami lalui sedikitpun
tanpa kebersamaan. Hari-hari sebagai remaja yang mulai tumbuh rasa dalam hati.
Rasa yang mungkin suatu saat berbuah indah atau sebaliknya.
Kami
telah bersahabat lebih dari 3 tahun. Berbagai liku kehidupan telah kami lalui
bersama. Dan aku sadar, aku menyimpan harapan besar pada Ardi. Tentu saja aku
tak ingin Ardi dan Nadya tahu tentang ini. Cukup aku saja yang tau.
Malam
ini, kami bertiga berdiskusi bersama-sama tentang masa depan kami bertiga
nanti. Rencana masa depan untuk melanjutkan study ke kempus ternama di negeri
ini. Saat berbicara dengan Ardi, Nadya tampak begitu bersemangat. Apa mungkin?
Ah, tidak. Nadya tidak mungkin juga punya rasa untuk Ardi. Diskusi pun berakhir
dengan keputusan, aku harus berpisah dengan mereka berdua untuk melanjutkan
study ke luar kota agak bisa lebih dekat dengan nenekku. Aku tidak tau saat itu
Ardi menatapku dengan sejuta selaksa yang aku tidak bisa menjawabnya.
Hari-hari
terakhir adalah hari yang paling menyiksa bagiku. Aku perlahan menyadari bahwa
Nadya menyimpan rasa juga untuk Ardi, meski ia tidak mengatakan padaku. Aku
paham dari sikapnya pada Ardi lebih dari sekedar sahabat. Aku bahkan tau bahwa
Nadya tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ia bersama Ardi. Aku
mendesah lirih. Mungkin memang aku yang harus mengalah. Mungkin juga dengan
kepergianku ini aku bisa melupakan rasa ini. Rasa yang kata teman-teman “rohis”
adalah rasa yang tak seharusnya.
Bandara
masih sepi siang itu. Aku menyandarkan badanku. Ada yang terasa hilang saat aku
akan pergi meninggalkan orang-orang yang aku cintai di kota ini. Bagaimana jika
nanti tak ada lagi Nadya yang mengajakku ngemil saat istirahat. Tak ada lagi
guyonan Ardi saat aku bersedih. Hm, semuanya akan berubah mulai hari ini. Aku
tak menyadari bahwa Nadya dan Ardi telah duduk disampingku. Mereka tesenyum
sedih menatapku. “Maafin aku ya kalau ada salah.” Nadya memelukku erat.. kami
menangis. Entahlah, berat sekali meninggalkan kenangan yang ada. “Akun juga
minta maaf, ya.” “Ardi sudah bicara, maaf sebelumnya, aku tidak sengaja membaca
buku harianmu saat beres-beres kemarin. Ardi membacanya, dan aku juga sudah tau
sebelumnya. Aku pun jujur padanya bahwa aku juga menyukainya. Tapi dia lebih
memilihmu, lalu bagaimana dengan mu ??.”
Aku
menghela nafas. Ah. Akhirnya rahasia itu terbongkar juga aku melihat mendung di
wajah Nadya , dan aku melihat harapan di mata Ardi. Aku tidak boleh salah ambil
keputusan. “Maaf, kalau aku membuat kalian serba salah. Tapi aku sudah membuat
keputusan. Aku tidak akan pernah mau mengorbankan persahabatan kita hanya
karena aku menyukai Ardi. Lebih dari itu, aku harus bisa lebih dulu mencintai yang
maha cinta sebelum mencintai mahkluknya yang dianugerahi rasa cinta.” Ucapku
sambil tersenyum.
Aku
tau, ada bias kecewa di mata Ardi, tapi aku lega melihat senyum di wajah Nadya.
Aku dan Nadya berpelukan menangis haru. Aku kemudian mengucap salam perpisahan.
Perlahan nemun pasti aku melangkahkan kaki menuju pesawat yang sebentar lagi
lepas landas. Kulambaikan tangan pada mereka. Nadya tersenyum, Ardi tersenyum.
Aku memang tidak ingin menyakiti hati Nadya hanya untuk menerima Ardi. Dan akau
juga tidak mau persahabatanku dengan Ardi retak karena ini. Dan kurasa, ini
adalah keputusan terbaik yang telah ku lakukan.
☺ TAMAT
☺
Tidak ada komentar:
Posting Komentar